SAPUDI – [holongpapua.com] Sejak kapal tanker besar rusak, Sapudi hanya diberi setetes harapan dari kapal kecil yang tak sebanding dengan dahaga warganya. Pertalite dan solar menghilang dari SPBU Kompak sejak pertengahan bulan. Jalan-jalan jadi sepi, bukan karena rakyat malas bergerak, tapi karena mereka dipaksa berhenti.

Guru berjalan kaki ke sekolah dengan keringat bercucuran. Nelayan menatap laut sambil menggenggam jaring kosong, solar hanya tinggal cerita. Petani hanya bisa menghela napas melihat hasil panen menumpuk, tak ada bahan bakar untuk mengangkutnya.

Namun, yang paling menyesakkan dada adalah diamnya pemerintah.
Pertamina tahu, BPH Migas tahu, bahkan presiden pun berjanji “BBM satu harga”. Tapi di Sapudi, harga itu nihil—karena barangnya saja tak ada.

Pulau ini bukan sekadar titik di peta, di sini ada nyawa, ada masa depan. Tapi suara rakyat tak pernah sampai ke telinga mereka yang duduk di kursi empuk. Pemerintah membisu, seolah-olah Sapudi hanyalah anak tiri yang tak pantas diperhatikan.

Rakyat bertanya, “Apakah kami harus menunggu kapal besar kembali berlayar, baru kami dianggap ada?”

Pulau Sapudi pun menangis dalam sunyi. Kelaparan energi ini bukan hanya karena kapal rusak, melainkan karena hati pemerintah yang lebih dulu karam.
(TEAM HOLONG PAPUA)